Nov 21, 2011

Ayo Bikin dan Nonton Film Cara Kita Sendiri


Saya berani traktir masakan termahal di kota ini untuk mereka yang berani mengatakan bahwa 'membuat film itu mudah'. Tentunya traktiran itu menuntut bincang-bincang santai, karena saya ingin mendengar argumen maupun teori siapa-pun-dia. Bagi saya, membuat film itu sangat rumit (maka tulisan ini terpaksa panjang lebar).
Menjelang akhir 2008, Harlan 'Bin' Boer dan Cholil Mahmud dari grup musik Efek Rumah Kaca (ERK) datang ke Rumah Buku/Kineruku(tempat saya bekerja) dan mengutarakan keinginan untuk berkolaborasi membuat sebuah film panjang.
Setelah menggodok ide, kami memutuskan untuk menuliskan sebuah skenario film panjang yang terinspirasi musik-musik ERK. Diajaklah teman seperguruan, Tumpal Tampubolon, dan Budi Warsito (rekan kerja di Kineruku). Sebelumnya saya, Budi, dan Tumpal telah menghasilkan film pendek berjudul The Anniversaries yang diproduksi oleh JiFFest dan Salto Films.
Dengan dasar saling menyukai dan menghargai karya satu sama lain, tim skenario dengan semangat melontarkan beberapa ide, hingga akhirnya sepakat untuk mengembangkan skenario yang kini berjudul Di Mana Rafael?. Cerita ini berkisah tentang seorang anak laki-laki yang mencuri seekor kura-kura, dan bagaimana kejadian tersebut membuat heboh kehidupan dua anak lainnya (si pemilik kura-kura, dan seorang anak perempuan yang berusaha keras mengembalikan kura-kura tersebut demi mendapatkan reward handphone). Efek Rumah Kaca nantinya akan merespons skenario ini dengan membuat album baru bertemakan anak-anak, yang sekaligus menjadi soundtrack film.
Setelah melewati satu tahun penulisan, skenario Di Mana Rafael? kini berembel-embel draft 5. Proses penulisan bisa dibilang cukup menyenangkan: ditulis bertiga, kami membagi tugas penulisan dengan masing-masing menulis/memperdalam cerita per karakter. Lalu kami memperhalusnya secara bergantian.
Di tengah-tengah penulisan, saya mengajak teman saya Veronica Kusuma untuk turut serta. Tim kini berintikan 5 orang: saya, Budi, Tumpal, Vero, dan Bin. Kami bertemu rutin tiap 1-2 bulan sekali. Sejalan dengan pembahasan skenario, dibuatlah perkiraan bujet yang spontan membuat kepala kami cenat-cenut. Maklum, saya, Bin dan Vero (yang bertindak sebagai 'produser') jarang-jarang melihat figur angka sebesar itu: satu koma sekian milyar. Ini tentunya adalah perhitungan di mana semua pemain, kru mendapatkan uang layak (belum tentu berarti besar), juga peralatan syuting dan pasca-produksi digital yang mumpuni (bukan berarti canggih). Padahal, rata-rata biaya pembuatan film layar lebar di Indonesia adalah 4 kali di atas itu.
Setelah mencermati proposal bujet, saya menemukan beberapa fakta perhitungan: 45 persen jumlah dana dialokasikan untuk sumber daya manusia (termasuk penulis skenario), 20 persen digunakan untuk peralatan produksi (kamera, sound), sedangkan 20 persen untuk pasca produksi (editing dan sound mixing). Saya dan Vero mengutak-atik angka tersebut, hingga menembus angka di bawah 1. Dengan catatan tim kru utama rela tidak dibayar penuh, dan beberapa peralatan syuting kami pinjam/beli sebagai modal awal.
Padahal, setelah membuat film pendek terakhir saya, Sugiharti Halim, diam-diam saya berjanji untuk tidak (lagi) membuat proyek dengan mengajak teman-teman bekerja dengan bayaran persahabatan. Apalagi dalam sebuah proyek film panjang yang menyita waktu banyak, sudah waktunya berusaha lebih profesional.
Angka-angka banyak nol itu otomatis membuat saya –yang membuat film pendek pertama dengan biaya seratus lima puluh ribu rupiah– mulai mengelus dada. Bin yang mengaku membuat rekaman (fenomenal) pertama Efek Rumah Kaca dengan bujet lima belas juta juga berpikir keras. Satu hal yang kami mulai sadari adalah, bujet film panjang memang tidak murah, karena menyangkut sumber daya (ahli) yang tidak sedikit.
Saya yang di awal merencanakan syuting dilakukan dengan 20 kru lalu mengubah strategi untuk bisa melakukan produksi dengan maksimal 10 orang saja. Roberto Rodriguez mampu membuat El Mariachi dengan 1 kru utama, yaitu dia sendiri! Film memukau A Wonderful Town karya Adhitya Assarat seingat saya hanya beranggotakan 15 kru. Saya dan Vero pun pede untuk bisa maju jalan dengan bujet setengah di awal.
Namun pertanyaan mendasar tetap mengganjal: bagaimana cara mendapatkan uang tersebut?

Logika Film dan Modal
Belum juga mendapat jawaban di atas, kami sudah harus mulai mengasah otak tentang masalah distribusi, satu hal yang sangat fundamental dan sering kali dikesampingkan. Karena biaya yang dikeluarkan untuk membuat film-film pendek saya cukup rendah, praktis sejauh ini saya hanya berpikir singkat tentang masalah distribusi. Dipasang dari festival ke festival sudah cukup memuaskan. Dalam kasus film dokumenter saya yang berjudul Anak Naga Beranak Naga, harapan juga tidak muluk-muluk: sejauh ia bisa direproduksi dalam bentuk DVD dan didistribusikan secara ekonomis ke orang-orang yang membutuhkannya.
Sebetulnya logika yang dipakai dalam membuat karya apa pun sama, yaitu: 'balik modal'. ‘Balik modal’ di sini bervariasi bentuknya, tapi pada dasarnya diartikan sebagai 'memuaskan' –sesuai hakikat karya tersebut. Namun, karena bujet pembuatan film panjang sangat besar, dibutuhkanlah pihak ketiga, yaitu investor/pemodal.
Sayangnya, bagi mereka ‘balik modal’ hanya bisa diartikan seharafiah-harafiahnya yaitu: balik modal uang. Kalau tidak dalam bentuk uang pun, pasti ada kompensasi berat yang harus kita lunasi bila pada akhirnya uang tersebut tidak berhasil kita kembalikan. Kami lalu sadar, bahwa keahlian kreatif saja tidak cukup untuk membuat film dengan baik dan benar.
Tapi mari kita definisikan apakah ‘baik dan benar’ itu, dalam sistem pendanaan dan distribusi film di Indonesia.
Di sini saya bicara tentang film popular (berorientasi publik dalam negeri), bukan art-house filmsyang mayoritas mendapatkan biaya dari pendanaan luar negeri dan diedarkan dari festival ke festival.
Kenyataan mengatakan bahwa penonton terbanyak yang bisa dijaring oleh sebuah film adalah melalui jaringan bioskop 21, dan apabila kami mengajukan proposal ke investor, rasanya tidak ada jalan lain selain mencari keuntungan dari penjualan tiket sebesar mungkin. Sayangnya, hingga kini bioskop 21 belum mau membuka diri untuk proyeksi film secara digital (NB: bujet produksi film secara digital jauh lebih rendah ketimbang seluloid).
Itu artinya, pembuat film digital yang hendak memasukkan filmnya ke bioskop 21, haruslah mentransfer dan menggandakan film mereka ke bentuk gulungan seluloid. Dengan perhitungan transfer dan penggandaan 20 kopi film (jumlah yang sangat minim dari total 600-an layar di Indonesia), bujet harus bertambah sekitar 500 juta rupiah.
Pembengkakan bujet tentunya tidak berhenti di situ saja. Karena terlanjur mengeluarkan uang yang besar dalam distribusi, produser film biasanya bertendensi untuk juga habis-habisan di promosi –pemasangan baliho, iklan cetak dan radio, liputan media– demi mendapatkan sebesar-besarnya perhatian calon penonton. Tidak jarang bujet promosi sebuah film sama besar, atau bahkan lebih besar dari bujet produksi film itu sendiri.
Dalam sebuah pertemuan, saya bilang ke Bin, "Kita lupain 21 deh". Secara bawah sadar pernyataan itu mencerminkan campuran rasa takut atas modal besar distribusi yang belum-belum harus kita pertanggungjawabkan, dan bahwa itikad saya membuat film bukan untuk menguntungkan pihak-pihak pengusaha, tapi sesederhana untuk bisa berkomunikasi dengan para penonton.
Bukannya saya keberatan dengan outlet-outlet distribusi yang mengambil untung (semua usaha juga harus untung!), tapi kenapa harus para kreator lokal yang digencet? Bukankah ujung-ujungnya kita adalah konsumen utama para pengusaha tersebut? Jika ini terus berlangsung, maka jangan salahkan para orang tua bahwa anak-anak mereka menjadi semakin konsumtif, bodoh, dan tidak kreatif. Mayoritas sistem yang (terpaksa) mapan di negeri ini tidak memberi jalan bagi masyarakat untuk mengembangkan kreativitas.
Secara logis, saya mengutarakan alasan saya pada Bin: "Ini kemungkinan terburuk, tapi sangat mungkin terjadi: Bayangkan kita masuk bioskop 21 dengan bujet pas-pasan, yang artinya tanpa promosi yang cukup. Film kita mulai diputar bioskop 21 hari Rabu. Space iklan jadwal bioskop di koran yang mampu kita bayar hanya 2 x 3 cm. Para moviegoers melihatnya sebagai 'film Indonesia gak jelas nih'. Hari Sabtu, minim penonton.
Konon, banyak tidaknya penonton di hari ini akan menentukan apakah film kita akan lanjut ditayangkan atau tidak. Minggu depannya film kita pun lenyap dari peredaran." Singkatnya, pembuat film tidak punya hak tayang ataupun daya tawar yang cukup. Modal besar sudah dikeluarkan untuk distribusi dan sedikit promosi, sementara uang yang kembali tidak sampai setengahnya.
Yang saya takutkan bukan hanya kenyataan bahwa film kita tidak cukup meraup penonton di bioskop 21, namun dampak setelah itu. Film yang hanya bertahan sebentar di bioskop otomatis berimej buruk. Kita pun kehilangan momen selanjutnya: penjualan DVD, pemutaran-pemutaran keliling, dan moda-moda distribusi lainnya karena sudah terlanjur dicap 'film gak laku'. Pembuat film terlilit hutang, karyanya tidak ditonton. Ini lebih buruk dari mimpi buruk.
Mungkin ada yang bertanya: kenapa tidak didistribusikan dahulu secara non-komersial sekaligus tes pasar, dan ketika animo cukup banyak, baru diedarkan secara komersial?
Masalahnya, bioskop-bioskop umum di Indonesia (termasuk Blitz) menginginkan pemutaran perdana di tempat mereka. Kasus ini terjadi pada film Belkibolang (antologi karya 9 pembuat film) yang batal diputar di Blitz Jakarta hanya karena film tersebut diputar (sekali saja) seminggu sebelumnya secara non-komersial di Salihara. Padahal bila jeli, pihak bioskop semestinya menganggap pra-pemutaran di tempat lain sebagai promosi awal gratis untuk film yang akan dipasang di tempat mereka.
Lalu apa cara distribusi paling ideal, agar film bermodal pas-pasan bisa meraih penonton sebanyak yang ia mampu, minimal mengembalikan uang produksi?

Film low-budget Menuju Penonton
Sammaria Simanjuntak, pembuat film asal Bandung, membuat film panjang pertamanya, cin(T)a, dengan bujet total sekitar 200 juta. Ia tidak memikirkan permasalahan distribusi hingga filmnya selesai diedit. Dengan buzz yang bergaung keras dan masif (salah satunya adalah berita pemutaran perdana di London), filmnya yang diputar selama enam minggu di Blitz serta roadshow keliling Indonesia berhasil meraup total 30.000-an penonton. Distribusi pun berlanjut dalam bentuk DVD. Menurut saya, ini adalah pencapaian besar bagi sebuah film bermodal kecil.
Keberhasilan distribusi film cin(T)a menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada jalan untuk menggiring masyarakat kita menonton film-film layar lebar di luar jalur utama. Juga bagi pembuat film untuk meraih pendapatan minimal untuk mengembalikan modal produksi film-film mereka. Perlu diingat bahwa Blitz Megaplex bertoleransi terhadap film digital (walaupun mereka masih bermasalah dengan kualitas sound).
Pertanyaan berikutnya adalah, dengan distribusi alternatif, masih perlukah kita memutar film secara perdana di bioskop umum?
Bila bujet pas-pasan dan kita bermaksud membuat film untuk dinikmati dan diapresiasi penonton (bukan semata meraup keuntungan), apakah bioskop umum adalah eksibitor paling cocok? Kami lalu berpikir untuk mengeluarkan film Di Mana Rafael? secara straight-to-DVDs. Tentu DVD harus dikemas semenarik mungkin, disertai bonus-bonus ciamik. Dengan cara ini film kami punya potensi untuk lebih berumur panjang, asal disertai promosi/reminder yang baik dari masa ke masa (bersambung ke halaman 2)

No comments:

Post a Comment